Dalam sebuah forum bahtsul masail NU beberapa tahun silam, para ulama NU sepakat mengeluarkan fatwa yang tidak mewajibkan umat Islam menyalati jenazah koruptor.
Gus Mus mengakui bahwa dalam sejarahnya, baru kali ini NU mengeluarkan fatwa yang cukup keras yakni soal tak wajib menyalati jenazah koruptor. “Ini hukuman luar biasa. Bayangkan kalau seorang tokoh besar atau seorang konglomerat atau siapapun dia — bekas publik figur – lalu meninggal dan tidak disalati karena korup, maka dia tidak beda dengan orang kafir,” ungkapnya.
Menurut Gus Mus, hakim bisa saja membebaskan koruptor. Tapi, rakyat bisa menghukumnya lewat fatwa ulama. Kalau masih lolos maka hukum Allah SWT tetap akan menjeratnya. Diakuinya, soal korupsi telah menjadi salah satu fenomena yang cukup menonjol di Indonesia. Tragisnya, mereka hampir tak tersentuh hukum atau bahkan kebal hukum. Hal itu disebabkan oleh berbagai elemen penting, seperti birokrat (eksekutif), legislatif, yudikatif (termasuk istitusi Polri), maupun para pengacara banyak yang bermental korup.
“Akhirnya, yang namanya koruptor seolah tidak terjaring hukum, itu karena mental yudikatif kita juga korup. Pendek kata mental korup ini sudah menggurita ke segenap lini dan, sudah dibudayakan selama puluhan tahun, untuk mereformasi butuh keberanian dan niat baik dari berbagai pihak,” tegasnya. Dalam kondisi yang memprihatinkan ini kyai tidak bisa tinggal diam. Karenanya, Munas dan Konbes alim ulama (NU) di Jakarta, merasa perlu mengeluarkan fatwa – sebagai jurus – untuk melawan koruptor. Saking semangatnya untuk memberantas korupsi, sehingga para ulama NU, mengeluarkan fatwa, isinya tidak wajib hukumnya mensalati koruptor yang meninggal dunia”. Diakui oleh Gus Mus, bahwa sikap atau fatwa ulama NU ini, merupakan sikap yang paling keras sepanjang sejarah berdirinya republik ini.
Reformasi, lanjut kyai yang juga budayawan, esensinya adalah merupakan perubahan yang menyeluruh setiap tatanan/produk yang selama ini disalahgunakan atau, menyimpang selama puluhan tahun. Tapi, kenyataannya, sekarang justru makin runyam. Gegeran di panggung politik di tingkat elit Jakarta, merembet ke daerah-daerah yang, unjung-ujungnya juga perebutan kekuasaan yang bermuara keduniawian semata. “Mereka-mereka itu semakin terlena dengan kekuasaan, sehingga tidak disadari betapa kian jauhnya kita dengan Tuhan. Jika para koruptor tetap melenggang karena `dipayungi` kekuasaan sehingga tidak terjerat hukum dunia, maka hukum akhirat-lah yang akan berbicara.
Mereka tidak akan bisa lari dari hukum Allah,” katanya. ”Di mata Tuhan meski cuma serupiah, kalau itu hasil korupsi, tetap akan ditagih Allah di akhirat kelak. Uang hasil korupsi, kata Gus Mus, tidak beda dengan uang hasil curian. Dan karena hak ‘adami‘ (milik orang lain/rakyat) maka harus dikembalikan, tidak berbeda dengan hutang yang harus dibayar, sampai di liang kubur sekalipun. Karena itu, penekanan ulama terhadap pelaku koruptor ini, diharapkan dapat mengembalikan iman, agar mau menyerahkan harta hasil korupsinya kepada negara, meskipun realitanya mereka bersembunyi dibalik ‘ketiak‘ kekuasaan.
gusmus.net